Jumat, 28 Januari 2011

Besi Tua

BERBEDA dengan sebutan untuk orang, besi tua bukan besi yang sudah  berumur tua, tapi besi yang tak terpakai lagi meskipun umurnnya masih muda dan kondisinya masih baik. Satu unit mobil yang tak bisa lagi jalan akibat kerusakan parah, segera berubah namanya menjadi besi tua. Harganya pun tidak lagi bertarif mobil, tetapi sesuai harga besi tua secara kiloan. Yang tepat, namanya besi bekas.

Kalau pabrik-pabrik di wilayah industri Lhokseumawe  seperti pabrik pencairan gas, pabrik pupuk, dan pabrik kertas, operasinya berhenti total, statusnya jadi besi tua. Ini sudah dialami sumur minyak di Kutabinjei dan Rantaupanjang di Aceh Timur setelah berakhirnya eksplorasi dan eksploitasi minyak oleh Pertamina. Padahal peralatan tersebut sangat berjasa dalam sejarah industri perminyakan. Misalnya  Kutabinjai yang dikenal dengan sumur Julok dimulai perusahaan milik Belanda -KPM--, dilanjutkan oleh PN Permina. Kemudian bergabung dengan PN Pertamin menjadi PT Pertamina.

Begitu juga yang berada di Rantaupanjang Peureulak, 12 km  ke selatan jalan lintas Sumatera. Di sini sumur-sumur minyak dioperasikan oleh Asamera, sebuah perusahaan asing. Isi  perut bumi itu dialirkan melalui pipa sepanjang 23 km lalu diisap oleh kapal-kapal yang berlabuh di dekat Kuala Beukah, dan diangkut entah ke mana.

Kini Kutabinjai dan Rantaupanjang telah sepi. Begitu api di ujung cerobong pembuang sisa minyak  padam di awal tahun tujuh puluhan, peralatan itu pun  berubah jadi besi tua. Tak ada lagi lidah api yang menjilat-jilat ke udara, baik di Rantaupanjang maupun Julok, yang  dulu bila malam hari cahaya itu dapat disaksikan dalam radius 50 km. Lokasi pengeboran minyak di Aceh kini tinggal di Rantau Kuala Simpang.

Cerita besi tua tidak hanya di tapak-tapak Pertamina dan bekas kawasan industri. Pascatsunami  di Aceh ratusan ton besi tua diangkut oleh truk-truk perkasa ke Medan. Para pemulung profesional dan amatiran mencari besi-besi bekas di gedung  ambruk. Puluhan  tauke dan makelar muncul saat itu. Banyak yang kaya dengan bisnis besi tua. Reubah rumoh tinggai beusoe, jeut tapuploe u gudang Cina. (Roboh rumah tinggal besi, bisa dijual ke gudang orang Cina). Begitu dolanan yang didendangkan remaja pemulung besi tua dengan girang meski Aceh - waku  itu-- sedang  nestapa.

Banyak cerita pemungut dan pemulung muncul di sekitar musibah tsunami. Para “pemulung” tidak hanya memungut besi tua, tetapi juga “menangani” barang-barang lain, termasuk perhiasan emas dan perak, baik yang tercecer di bekas-bekas rumah roboh, maupun yang masih melekat di tubuh mayat. Konon kabarnya “pemulung” yang berkedok pekerja  sosial  dalam evakuasi korban  tega membiarkan mayat tergelak setelah perhiasan di tubuhnya dipreteli, bila perlu memotong tangan atau jari sang jenazah  agar mudah mengambil   emas.

Cerita besi tua tidak sekadar  besi bekas reruntuhan rumah dan perhiasaan di tubuh korban tsunami di Aceh pada 2004. Besi tua juga bisa berasal dari jembatan, baik  yang roboh diterjang  tsunami maupun jembatan darurat yang kemudian dibongkar lagi setelah   jembatan permanen siap. Juga mobil dan  bekas alat berat  masa tanggap darurat yang tercecer di beberapa daerah, semuanya masuk daftar  besi tua.

Bagi para peminat barang-barang ini,  tampaknya Aceh terus akan menjadi daerah potensial yang memproduk besi tua.  Melihat gelagat, beberapa “proyek impian”  bakal menghasilkan onggokan  besi bekas. Pembangunan pelabuhan bebas Sabang meskipun telah menelan duit ratusan milyar rupiah selama tiga tahun agaknya tak banyak bisa diharap dari sana.

Sebagaimana disiarkan pers baru-baru ini, free port itu baru dibangun  hanya beberapa puluh meter dermaga. Padahal fasilitas pelabuhan cukup meragam. Rakyat Sabang terus tersuguhkan dengan mimpi-mimpi. Apalagi dalam manajemen BPKS-pengelola proyek-- sedang terjadi gonjang ganjing. Ujung-ujungnya proyek terlantar. Dan itu akan segera  menghasilkan besi tua dari dalam kerangka dermaga.

Ada lagi yang pasti amat menggiurkan  para pemulung dan peminat besi tua di Aceh, yaitu  proyekkereta  api yang sedang dibangun secara sporadis di Aceh Utara dan Bireuen.  Karena rute  yang dipakai adalah jalur  kereta api zaman Belanda, banyak kawasan yang tak mungkin ditembus lagi lantaran telah berdiri bangunan kokoh bahkan telah tertanam di bawah aspal pelebaran jalan raya.

Ada dagelan besar di sana yang menggambarkan seolah-olah proyek  tersebut sesuatu yang serius. Untuk itu didatangkanlah  sebuah lokomotif dan dua gerbong untuk untuk pajangan  di Kruenggeukueh. Tak ada publikasi dan transparansi kelanjutan proyek dan berapa duit rakyat  yang sudah dihamburkan ke sana.  Beberapa tahun lagi, daripada mubazir,  semua  besi rel, gerbong, dan lokomotif bakal ditimbang dan dilego secara kiloan.

Ternyata besi tua tidak hanya sesuatu yang menggiurkan sebagai ladang  bisnis. Dalam perspektif lain, besi tua sesungguhnya  ---yang benar-benar tua-adalah besi yang dililit karatan. Ini harus hati-hati, karena jika tergores  besi karatan,  luka bekas goresan bisa terinfeksi  tetanus. Sebelum  obat  mudah ditemukan - terutama di  pedalaman-- banyak orang yang terkena tetanus berakibat fatal, misalnya gejala meuganceng gigoe (terkunci gigi).

Gejala terkunci gigi dulu dialami oleh wanita  melahirkan. Cukup banyak korban tetanus dari kalangan ini yang meninggal dunia. Barangkali karena minimnya pengetahuan masyarakat  tentang kebersihan  membuat proses  melahirkan yang ditangani dukun kampung  sebagai masa yang  rawan dan menakutkan. Dukun bersalin (ma blein) di desa memang agak mengabaikan aspek  higenis.

Di desa-desa pada waktu itu, seorang perempuan yang sedang melahirkan dan kemudian mengalami gigi terkunci, dipercaya sebagai akibat  kerasukan jin atau “burong tujuh”. Ironisnya jin yang datang menggoda dan kemudian mengunci mulut perempuan melahirkan berasal dari perempuan yang juga meninggal akibat yang sama.  Maka, jika ada orang yanng “mete medeueng” alias meninggal akibat melahirkan, malam jadi sepi dan mencekam. Bulu kuduk anak-anak yang pulang dari rumah  pengajian berdiri tegak bila ada kasus seperti itu. Mitos, legenda, dan desas desus  berkembang pesat. Banyak  yang mengaku melihat atau berjumpa dengan sosok almarhumah yang telah berubah bentuk. Kalau muncul suara-suara aneh burung malam langsung dikaitkan dengan mitos tadi.  Ketakutan dan kekecutan menjadi langit-langit  desa.

Ya, mitos tentang gentayangan makhluk halus sekitar orang  meninggal saat melahirkan sudah pupus diteleh modernisasi dan transformasi kultural. Tetapi secara umum masih banyak orang  yang  menjauhi besi tua, kecuali para pemulung. Sebab, jika  pemulung terinfeksi tetanus memang sudah  resiko profesi. Apa boleh buat!

Namun jangan salah, selain pemulung ada juga orang suka bermain-main dengan besi tua penuh karatan. Sebagai hobi atau permainan, itu sah-sah saja. Cuma kita menjadi cemas kalau tidak hati-hati tangannya  bakal tergores.  Meski obat tetanus  sekarang mudah didapat semudah memperoleh bumbu penyedap, kita tetap prihatin  jika  kelak mendengar kabar ada  orang yang celaka gara-gara  besi tua. Apalagi kalau sampai meuganceng gigoe seperti di suatu waktu dulu. Nggak lucu, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar