Meskipun kemunculan perusahaan-perusahaan pertambangan dapat menambah investasi untuk daerah, pengaruh perusahaan tambang juga disebut-sebut, tak terlepas sebagai pemicu konflik untuk Aceh.
Sejarah adanya pertambangan di Aceh dimulai sejak Belanda membebaskan Deli dari Tanah Rencong tahun 1862 silam. Pembebasan Deli tersebut, dilakukan Belanda untuk menguasai minyak di Telaga Said, Pangkalan Brandan.
Sebagai kerajaan yang mempunyai potensi sumber daya alam besar, Aceh saat itu juga mempunyai sumber minyak bumi yang berlokasi di Rantau Panjang, Peureulak. Mengetahui hal itu, Belanda yang menjunjung visi dan misi 3 G (Gold, Glory dan Gospel) atau Kekayaan, Kejayaan dan Kepercayaan/penyebaran agama, akhirnya melakukan penyerangan ke Aceh pada tahun 1873.
Untuk memuluskan penyedotan minyak di tambangnya yang ada di Rantau Panjang, Peureulak, negara Kincir Angin tersebut, melalui perusahaannya Royal Dutch, kemudian mengoperasikan tambang minyak di Brandan, tahun 1885.
Seterusnya, tahun 1899, Hindia Belanda juga mengaktifkan tambang minyak di Rantau Panjang diikuti pembuatan saluran pipa, dari Peureulak ke Pangkalan Brandan untuk distribusi di tahun 1901.
Enam tahun kemudian (1907), Koninklijke dan Shell Transport and Trading Company bergabung membentuk Bataafsche Petrolium Maatschappij (BPM). Setelah pembentukan BPM ini, Royal Dutch yang menguasai tambang minyak di Indonesia mengalihkan semua konsesi-konsesinya ke lembaga baru ini.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 1971 bukti besarnya potensi SDA di Aceh semakin nyata. Minggu, 24 Oktober 1971, pengeboran dan pencarian gas di Arun membuahkan hasil. Gas dikawasan ini ditemukan oleh Mobil Oil Indonesia Inc., yang sekarang dikenal dengan Exxon Mobil, mitra usaha Pertamina atas dasar kontraktor bagi hasil.
Namun, penemuan tersebut tidak begitu mendapat perhatian dari pemerintah secara serius. Karenanya, melalui Pertambangan Minyak Nasional (Pertamina), pemerintah mengikat kerjasama guna mengeksploitasi hasil bumi Aceh dengan pihak swasta.
Tahun 1973, ladang gas Arun, Lhoksukon Aceh Utara, di bagi menjadi tiga kepemilikan. 55 persen milik Pertamina, 30 persen dimiliki Mobil Oil dan Jilco sebanyak 15 persen.
Sejak saat itu, konsesi tambang berbagai level terus bermunculan. Terlebih setelah konflik di Aceh mampu diredam pasca perundingan damai RI-GAM di Helsinky, 15 Agustus 2005. Tercatat sejak Agustus tersebut sampai tahun 2009, ada 75 konsesi tambang berbagai level menguasai 484.505 ha wilayah Aceh.
75 konsesi tambang tersebut, terbagi atas 22 perusahaan bijih besi yang menguasai luas wilayah 38.282 ha tanah Aceh. 17 perusahaan batu bara dengan luas 120.176 ha, 20 perusahaan emas menguasai luas wilayah 274.807,3 ha dan tiga perusahaan timah hitam yang menguasai 20.250 ha.
Sementara untuk tambang batu gamping dan pasir thufan ada dua perusahaan denga luas wilayah 1143,90 ha terus menerus menikmati hasil SDA Aceh. Diikuti tujuh perusahaan lainnya yang focus pada pertambangan Galena menguasai luas lahan 17.345 ha serta satu perusahaan Mangan juga ikut beroperasi di luas lahan 3.500 ha di bumi Aceh.
Sedangkan untuk SDA pasir besi dengan luas 208,6 ha dikuasai oleh dua konsesi tambang di Aceh dan satu perusahaan lainnya mengeruk tembaga di areal 10.000 ha, milik masyarakat Aceh. Pertanyaannya, kenapa dengan jumlah begitu banyak konsesi pertambangan tersebut memunculkan konflik social dan lainnya dengan masyarakat?
Karakteristik Pertambangan di Aceh
Dalam perjalanan sejarah pertambangan di Indonesia, khususnya di Aceh, konsesi-konsesi yang mengeruk hasil kekayaan alam di daerah setempat kerap menemui masalah dengan masyarakat di lingkungan pertambangan. Munculnya gesekan-gesekan ini, nantinya mampu menghasilkan konflik besar seperti yang pernah terjadi di Aceh, beberapa tahun silam.
Konsesi pertambangan yang ada di Indonesia, terutama di Aceh mempunyai beberapa karakteristik bermasalah sehingga memunculkan konflik. Antaranya, perusahaan tambang yang melakukan aktivitas pertambangan sering kali menguasai wilayah produksi rakyat.
Seterusnya, perusahaan-perusahaan tambang ini sering juga melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat, dipandang dari berbagai sisi.
Hal lainnya yang kemudian menimbulkan konflik adalah seringkali terjadi kerusakan lingkungan di sekitar lahan pertambangan, marak terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tubuh perusahaan yang merugikan penduduk sekitar, adanya praktek politik adu domba serta banyak konsesi tambang yang ada membangun enclave ekslusif di areal konsesi.
Munculnya perusahaan tambang di suatu daerah juga kerap berdampak pada masyarakat. Seperti contoh kejadian di Arun, dimana rakyat sekitar sama sekali tidak mendapatkan manfaat atas penyedotan hasil alam di daerah mereka. Padahal, dominan dari masyarakat yang ada di areal tersebut masih dalam keadaan kurang mampu (miskin).
Memakai jasa TNI/Polri sebagai bodyguard, hasil tambang bukan untuk kebutuhan lokal dan export oriented akhirnya menimbulkan persoalan-persoalan social lainnya. Ciri khas konsesi pertambangan tersebut, akhirnya memunculkan polemik di tubuh masyarakat yang kemudian melahirkan konflik seperti Aceh tempo hari.
Konflik-konflik seperti ini pernah terjadi di Aceh Utara dan beberapa daerah di Aceh lainnya. Saat itu, Exxon Mobile yang menguasai lahan tambang gas Arun melakukan pelanggaran HAM demi kemanan perusahaannya terhadap masyarakat sekitar. Kemudian, konflik lahan antara masyarakat Lhoong, Aceh Besar dengan PT Lhoong Setia Mining.
Tak hanya itu, di Manggamat, Aceh Selatan penguasaan lahan produksi masyarakat oleh PT Multi Mineral Utama dan tidak adanya kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan serta kurangnya kesadaran pemilik perusahaan atas limbah tambangnya seperti yang dirasakan penduduk Lhoknga atas aktivitas PT SAI, juga berujung pada konflik dengan masyarakat.
“Sekarang adalah waktu yang ideal untuk memeriksa, kaitan antara kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan struktural dan sejumlah kejahatan serta pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Komisaris Tinggi HAM PBB, Mary Robinson, 2002 silam.
Pernyataan ini terkait erat atas kehadiran perusahaan tambang yang acap kali membawa masalah bagi penduduk sekitar. Contohnya, pencemaran debu oleh PT SAI di Lhoknga, kebocoran gas H2S oleh operasi PT Arun, kebocoran limbah EMOI di Aceh Utara dan ancaman abrasi akibat penambangan galian C di Aceh Besar.
Hak Rakyat
Dalam perjalanannya, konsesi-konsesi tambang ini sering melupakan adanya hak-hak rakyat. Sehingga konflik sosial terus menerus terjadi seiring berkembangnya perusahaan itu sendiri.
Padahal, dalam konstitusi, Amandemen -2 UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) ditegaskan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal senada juga dituliskan dalam pasal 5 & 8 UU 23/1997, Pasal 3 UU 39/1999.
Di lain sisi, rakyat juga mempunyai hak secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul ke depannya, seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) Konvenan Internasional Ekosob.
Bahkan, Resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 lebih tegas lagi mengakui adanya kedaulatan permanen atas sumber daya alam adalah hak rakyat dengan bebas mengatur kekayaan dan sumberdaya alam mereka.
Meskipun sejumlah pasal dan peraturan lainnya telah dibuat dan disepakati bersama, namun konsesi-konsesi pertambangan yang ada saat ini cenderung mengabaikan hak-hak rakyat.
Lalu, apakah rakyat selaku yang memiliki, menerima sebab dan akibat dari eksploitasi hasil alam dari konsesi pertambangan yang ada, harus diam saja?[]
SUMBER: NASHRUDDIN AGUS
http://abangdetak.wordpress.com/2010/05/19/menambang-buat-siapa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar