BERBEDA dengan sebutan untuk orang, besi tua bukan besi yang sudah berumur tua, tapi besi yang tak terpakai lagi meskipun umurnnya masih muda dan kondisinya masih baik. Satu unit mobil yang tak bisa lagi jalan akibat kerusakan parah, segera berubah namanya menjadi besi tua. Harganya pun tidak lagi bertarif mobil, tetapi sesuai harga besi tua secara kiloan. Yang tepat, namanya besi bekas.
Kalau pabrik-pabrik di wilayah industri Lhokseumawe seperti pabrik pencairan gas, pabrik pupuk, dan pabrik kertas, operasinya berhenti total, statusnya jadi besi tua. Ini sudah dialami sumur minyak di Kutabinjei dan Rantaupanjang di Aceh Timur setelah berakhirnya eksplorasi dan eksploitasi minyak oleh Pertamina. Padahal peralatan tersebut sangat berjasa dalam sejarah industri perminyakan. Misalnya Kutabinjai yang dikenal dengan sumur Julok dimulai perusahaan milik Belanda -KPM--, dilanjutkan oleh PN Permina. Kemudian bergabung dengan PN Pertamin menjadi PT Pertamina.
Begitu juga yang berada di Rantaupanjang Peureulak, 12 km ke selatan jalan lintas Sumatera. Di sini sumur-sumur minyak dioperasikan oleh Asamera, sebuah perusahaan asing. Isi perut bumi itu dialirkan melalui pipa sepanjang 23 km lalu diisap oleh kapal-kapal yang berlabuh di dekat Kuala Beukah, dan diangkut entah ke mana.
Kini Kutabinjai dan Rantaupanjang telah sepi. Begitu api di ujung cerobong pembuang sisa minyak padam di awal tahun tujuh puluhan, peralatan itu pun berubah jadi besi tua. Tak ada lagi lidah api yang menjilat-jilat ke udara, baik di Rantaupanjang maupun Julok, yang dulu bila malam hari cahaya itu dapat disaksikan dalam radius 50 km. Lokasi pengeboran minyak di Aceh kini tinggal di Rantau Kuala Simpang.
Cerita besi tua tidak hanya di tapak-tapak Pertamina dan bekas kawasan industri. Pascatsunami di Aceh ratusan ton besi tua diangkut oleh truk-truk perkasa ke Medan. Para pemulung profesional dan amatiran mencari besi-besi bekas di gedung ambruk. Puluhan tauke dan makelar muncul saat itu. Banyak yang kaya dengan bisnis besi tua. Reubah rumoh tinggai beusoe, jeut tapuploe u gudang Cina. (Roboh rumah tinggal besi, bisa dijual ke gudang orang Cina). Begitu dolanan yang didendangkan remaja pemulung besi tua dengan girang meski Aceh - waku itu-- sedang nestapa.
Banyak cerita pemungut dan pemulung muncul di sekitar musibah tsunami. Para “pemulung” tidak hanya memungut besi tua, tetapi juga “menangani” barang-barang lain, termasuk perhiasan emas dan perak, baik yang tercecer di bekas-bekas rumah roboh, maupun yang masih melekat di tubuh mayat. Konon kabarnya “pemulung” yang berkedok pekerja sosial dalam evakuasi korban tega membiarkan mayat tergelak setelah perhiasan di tubuhnya dipreteli, bila perlu memotong tangan atau jari sang jenazah agar mudah mengambil emas.
Cerita besi tua tidak sekadar besi bekas reruntuhan rumah dan perhiasaan di tubuh korban tsunami di Aceh pada 2004. Besi tua juga bisa berasal dari jembatan, baik yang roboh diterjang tsunami maupun jembatan darurat yang kemudian dibongkar lagi setelah jembatan permanen siap. Juga mobil dan bekas alat berat masa tanggap darurat yang tercecer di beberapa daerah, semuanya masuk daftar besi tua.
Bagi para peminat barang-barang ini, tampaknya Aceh terus akan menjadi daerah potensial yang memproduk besi tua. Melihat gelagat, beberapa “proyek impian” bakal menghasilkan onggokan besi bekas. Pembangunan pelabuhan bebas Sabang meskipun telah menelan duit ratusan milyar rupiah selama tiga tahun agaknya tak banyak bisa diharap dari sana.
Sebagaimana disiarkan pers baru-baru ini, free port itu baru dibangun hanya beberapa puluh meter dermaga. Padahal fasilitas pelabuhan cukup meragam. Rakyat Sabang terus tersuguhkan dengan mimpi-mimpi. Apalagi dalam manajemen BPKS-pengelola proyek-- sedang terjadi gonjang ganjing. Ujung-ujungnya proyek terlantar. Dan itu akan segera menghasilkan besi tua dari dalam kerangka dermaga.
Ada lagi yang pasti amat menggiurkan para pemulung dan peminat besi tua di Aceh, yaitu proyekkereta api yang sedang dibangun secara sporadis di Aceh Utara dan Bireuen. Karena rute yang dipakai adalah jalur kereta api zaman Belanda, banyak kawasan yang tak mungkin ditembus lagi lantaran telah berdiri bangunan kokoh bahkan telah tertanam di bawah aspal pelebaran jalan raya.
Ada dagelan besar di sana yang menggambarkan seolah-olah proyek tersebut sesuatu yang serius. Untuk itu didatangkanlah sebuah lokomotif dan dua gerbong untuk untuk pajangan di Kruenggeukueh. Tak ada publikasi dan transparansi kelanjutan proyek dan berapa duit rakyat yang sudah dihamburkan ke sana. Beberapa tahun lagi, daripada mubazir, semua besi rel, gerbong, dan lokomotif bakal ditimbang dan dilego secara kiloan.
Ternyata besi tua tidak hanya sesuatu yang menggiurkan sebagai ladang bisnis. Dalam perspektif lain, besi tua sesungguhnya ---yang benar-benar tua-adalah besi yang dililit karatan. Ini harus hati-hati, karena jika tergores besi karatan, luka bekas goresan bisa terinfeksi tetanus. Sebelum obat mudah ditemukan - terutama di pedalaman-- banyak orang yang terkena tetanus berakibat fatal, misalnya gejala meuganceng gigoe (terkunci gigi).
Gejala terkunci gigi dulu dialami oleh wanita melahirkan. Cukup banyak korban tetanus dari kalangan ini yang meninggal dunia. Barangkali karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang kebersihan membuat proses melahirkan yang ditangani dukun kampung sebagai masa yang rawan dan menakutkan. Dukun bersalin (ma blein) di desa memang agak mengabaikan aspek higenis.
Di desa-desa pada waktu itu, seorang perempuan yang sedang melahirkan dan kemudian mengalami gigi terkunci, dipercaya sebagai akibat kerasukan jin atau “burong tujuh”. Ironisnya jin yang datang menggoda dan kemudian mengunci mulut perempuan melahirkan berasal dari perempuan yang juga meninggal akibat yang sama. Maka, jika ada orang yanng “mete medeueng” alias meninggal akibat melahirkan, malam jadi sepi dan mencekam. Bulu kuduk anak-anak yang pulang dari rumah pengajian berdiri tegak bila ada kasus seperti itu. Mitos, legenda, dan desas desus berkembang pesat. Banyak yang mengaku melihat atau berjumpa dengan sosok almarhumah yang telah berubah bentuk. Kalau muncul suara-suara aneh burung malam langsung dikaitkan dengan mitos tadi. Ketakutan dan kekecutan menjadi langit-langit desa.
Ya, mitos tentang gentayangan makhluk halus sekitar orang meninggal saat melahirkan sudah pupus diteleh modernisasi dan transformasi kultural. Tetapi secara umum masih banyak orang yang menjauhi besi tua, kecuali para pemulung. Sebab, jika pemulung terinfeksi tetanus memang sudah resiko profesi. Apa boleh buat!
Namun jangan salah, selain pemulung ada juga orang suka bermain-main dengan besi tua penuh karatan. Sebagai hobi atau permainan, itu sah-sah saja. Cuma kita menjadi cemas kalau tidak hati-hati tangannya bakal tergores. Meski obat tetanus sekarang mudah didapat semudah memperoleh bumbu penyedap, kita tetap prihatin jika kelak mendengar kabar ada orang yang celaka gara-gara besi tua. Apalagi kalau sampai meuganceng gigoe seperti di suatu waktu dulu. Nggak lucu, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar