Aduh! Aceh Timur
-PEMKAB Aceh Timur dinilai “gagal”. Begitu dilansir media dalam minggu terakhir. Kepemimpinan bupati tidak bisa memberikan pelayanan publik kepada rakyat di daerah itu. Lemahnya arah pembangunan Aceh Timur (AT) terlihat mulai masalah infrastruktur, fasilitas yang sangat minim, tatakelola pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat, tim ahli yang tak ahli, hingga suasana perpolitikan yang carut marut.
Kecuali itu, soal proyek multiyears yang dibiayai dengan anggaran tahun 2009-2011 baik bersumber dari APBN, APBA Provinsi Aceh maupun dari APBK Aceh Timur, dalam pelaksanaan proyek pembangunan yang dikerjakan dua perusahan yaitu PT Lince Romauli Raya dan PT Trillion Glory Internasional, ternyata implementasinya sangat mengecewakan. Sementara dana untuk proyek itu tidak mampu dipertanggungjawabkan.
Misalnya, hasil laporan Pansus DPRK Aceh Timur, bahwa anggaran yang sudah tersedot ke pembangunan pusat pemerintahan Aceh Timur sebesar 130,3 M dari pagu sebesar 160 M, terindikasi terjadinya penyimpangan. Terungkap dalam proses pencairan uang muka 15 persen realisasi fisik proyek ke PT.Trillion Glory internasional (TGI) sebesar 19,5M. Pembayaran uang muka tidak sesuai dengan persentase pekerjaan yang hanya mencapai 4,8 persen. Seharusnya 15 persen sesuai aturan realisasi pembayaran uang muka.
Masalah lain kasus divisit anggaran yang mencapai Rp 138 miliar yang sempat mengagetkan hingga dipertanyakan sejumlah aktivis LSM karena dinilai melampaui angka dibatas kewajaran. Seperti dikatakan Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi,SH dan Ketua Solidaritas untuk Peduli Anggaran (SAPA) Aceh, Rizalihadi, bahwa defisit yang mencapai ratusan milyar itu sangat besar dan tidak logis dengan melihat kondisi kekinian Pemkab Aceh Timur.
Dikatakan, jumlah total belanja untuk Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp 793.387.762.032. Sedangkan total pendapatan hanya sebesar Rp 655.014.162.113, sehingga muncul defisit sebesar Rp 138.373.699.926. “Kita curigai salah satu alasan penyebab difisit itu, seperti penggunaan anggaran di luar mekenisme APBK 2009,” ujar Auzir yang meminta dana itu perlu ditelusuri dan Pemkab Aceh Timur harus mempertangungjawabkannya (Serambi, 2 Januari 2010).
Tampaknya berbagai kasus terus terjadi akibat ketidakmampuan Bupati Aceh Timur. Misal, tentang kasus perpanjangan PT.Medco E&P Malaka yang tidak menghormati hak-hak masyarakat Aceh Timur. Tiga blok migas di Aceh Timur, Blok A dikuasai melalui Produstion Sharing Contract (PSC) oleh Medco Energi, Blok Pase dikuasai oleh Exxon Mobile dan Blok Peureulak dikuasai melalui Kerja Sama Operasi (KSO) oleh Pacific Oil & Gas dan Pertamina. Beroperasinya pengelolaan migas itu sama sekali tidak mengakomadir kepentingan masyarakat dan bagi sumber pendapatan daerah Aceh Timur.
Kita ketahui pemerintah Aceh melalui BP MIGAS sudah mengizinkan perpanjangan izin pengelolaannyasebagaimana Surat Persetujuan Nomor 540/49925 pada 13 Juli 2010, namun keuntungannya hanya dikooptasi provinsi. Sementara Pemkab Aceh Timur sebagai pemilih lahan, tidak mendapatkan akses apa pun. Hadirnya masalah Medco sekaligus menjadi pemanfaatan bagi pengalihan isu atas tata kelola pemerintah yang berjalan tidak optimal, ditunjukan dari indikasi penyimpangan anggaran APBK.
Sebagaimana digugat elemen sipil, seyogyanya Gubernur harus membuka ruang untuk daerah-daerah, padahal political will Gubernur paling menentukan kondisi sosial dalam pembangunan ke depan. Namun kekuasaan tiran Gubernur Aceh untuk menguasai potensi di daerah itu sehinga menghambat terwujudnya kesejahtraan rakyat. Masalahnya, ini juga akibat ketidak-mampuan pemerintah Aceh Timur sendiri yang sungguh sangat menyakiti masyarakat Aceh Timur.
Belum lagi soal kebutuhan air bersih yang hingga kini tak kunjung teratasi. Kalaupun sebagian wilayah sudah dialiri instalasi PDAM, namun kualitasnya masih di bawah standar kelayakan. Ironisnya ketika ada gugatan dari masyarakat, justru Bupati menganggap itu sikap tidak membantu pemerintahannya, bahkan mencoba melemparkan tanggungjawabnya sebagai pimpinan daerah. Karena masalah air sebagai kebutuhan primer masyarakat. Daerah yang masih kurang mendapatkan konsumsi air bersih Desa Tunong Bugeng, Kecamatan Darul Falah, Aceh Timur. Walaupun program PNPM-P belum mampu mengakomindir kebutuhan masyarakat desa tersebut. Ini tanggung jawab Pemkab Aceh Timur. Daerah lainnya yaitu Kecamatan Julok, Idi Tunong, Nurussalam, Darul Aman, Keude Geurebak, Bagok, Peunaron, dan Ranto Peureulak. Apalagi program air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) baru berjalan di tataran sosialisasi saja.
Aceh Timur kaya sumberdaya alam, namun lebih 62 persen dari jumlah penduduk mencapai 400.000 jiwa, masih didera kemiskinan. Hal ini berdasarkan data statistik tahun 2006. (sumber:http://www.pelita.or.id/baca.php?id=46277). Ini diakui Wabub, Nasrudin, bahwa sebenarnya bukan daerah miskin. Tapi potensi alam itu belum bisa tergarap maksimal. Kendalanya selain minimnya sarana infrastruktur pendukung investasi, terutama jalan dan jembatan, keamana juga faktor SDM.
Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di Aceh Timur, Pemkab telah menyalurkan bantuan pendidikan atau beasiswa bagi mahasiswa asal kabupaten ini. Masalahnya, dalam penyaluran beasiswa ini, tidak ada kontrak dan ketentuan yang mengikat, bila nanti mereka sudah selesai studinya, maka akan mengabdi sebagai tenaga skill di daerah itu untuk memajukan pembangunan.
Selama ini Pemkab mengandalkan tim asistensi untuk memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Namun dalam implementasinya, tim yang dibentuk itu tidak bisa diandalkan. Selain kapasitas mereka yang rendah juga proses bekerja tim ini bukan karena tanggungjawab moral untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat, akan tetapi lebih akibat ikatan bisnis atau kontrak sebagai tim ahli.
Itu sebabnya, sejumlah elemen yang yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Masyarakat Aceh Timur (GAMAT), meminta Bupati segera membubarkan tim asistensinya. Karena dianggap kehadiran tim ini hanya menghabiskan anggaran daerah untuk gaji dan biaya operasional.
Ironisnya, tim asistensi tidak berfungsi sebagai ahli, melainkan justru menjadi kontraktor dan penguasa baik sebagai direktur, komisaris di berbagai perusahaan daerah.
Memang masalah di kabupaten Aceh Timur, bukan hanya soal ketidakmampuan kepemimpinan bupati dan amburadulnya kebijakan pembangunan, tapi ditambahi dengan maraknya angka kriminal yang merusak citra daerah itu.
Persoalan di Aceh Timur tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan cara-cara instan, apalagi dengan menunjukkan kekuasaan atau justru saling melempar tanggungjawab. Tapi bupati dan jajarannya bisa melakukan suatu yang riil langsung menyentuh kepentingan masyarakat Aceh Timur. Sebab rakyat tidak butuh retorika politik, tapi bagaimana kehidupan ekonomi bisa berjalan dan meningkatnya kesejahtraan masyarakat. Ini yang mesti diwujudkan sang bupati yang didukung para tim asistensinya.
* Penulis adalah pemerhati politik dan keamanan. Mahasiswa S2 Fakultas Politik UGM
Kecuali itu, soal proyek multiyears yang dibiayai dengan anggaran tahun 2009-2011 baik bersumber dari APBN, APBA Provinsi Aceh maupun dari APBK Aceh Timur, dalam pelaksanaan proyek pembangunan yang dikerjakan dua perusahan yaitu PT Lince Romauli Raya dan PT Trillion Glory Internasional, ternyata implementasinya sangat mengecewakan. Sementara dana untuk proyek itu tidak mampu dipertanggungjawabkan.
Misalnya, hasil laporan Pansus DPRK Aceh Timur, bahwa anggaran yang sudah tersedot ke pembangunan pusat pemerintahan Aceh Timur sebesar 130,3 M dari pagu sebesar 160 M, terindikasi terjadinya penyimpangan. Terungkap dalam proses pencairan uang muka 15 persen realisasi fisik proyek ke PT.Trillion Glory internasional (TGI) sebesar 19,5M. Pembayaran uang muka tidak sesuai dengan persentase pekerjaan yang hanya mencapai 4,8 persen. Seharusnya 15 persen sesuai aturan realisasi pembayaran uang muka.
Masalah lain kasus divisit anggaran yang mencapai Rp 138 miliar yang sempat mengagetkan hingga dipertanyakan sejumlah aktivis LSM karena dinilai melampaui angka dibatas kewajaran. Seperti dikatakan Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi,SH dan Ketua Solidaritas untuk Peduli Anggaran (SAPA) Aceh, Rizalihadi, bahwa defisit yang mencapai ratusan milyar itu sangat besar dan tidak logis dengan melihat kondisi kekinian Pemkab Aceh Timur.
Dikatakan, jumlah total belanja untuk Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp 793.387.762.032. Sedangkan total pendapatan hanya sebesar Rp 655.014.162.113, sehingga muncul defisit sebesar Rp 138.373.699.926. “Kita curigai salah satu alasan penyebab difisit itu, seperti penggunaan anggaran di luar mekenisme APBK 2009,” ujar Auzir yang meminta dana itu perlu ditelusuri dan Pemkab Aceh Timur harus mempertangungjawabkannya (Serambi, 2 Januari 2010).
Tampaknya berbagai kasus terus terjadi akibat ketidakmampuan Bupati Aceh Timur. Misal, tentang kasus perpanjangan PT.Medco E&P Malaka yang tidak menghormati hak-hak masyarakat Aceh Timur. Tiga blok migas di Aceh Timur, Blok A dikuasai melalui Produstion Sharing Contract (PSC) oleh Medco Energi, Blok Pase dikuasai oleh Exxon Mobile dan Blok Peureulak dikuasai melalui Kerja Sama Operasi (KSO) oleh Pacific Oil & Gas dan Pertamina. Beroperasinya pengelolaan migas itu sama sekali tidak mengakomadir kepentingan masyarakat dan bagi sumber pendapatan daerah Aceh Timur.
Kita ketahui pemerintah Aceh melalui BP MIGAS sudah mengizinkan perpanjangan izin pengelolaannyasebagaimana Surat Persetujuan Nomor 540/49925 pada 13 Juli 2010, namun keuntungannya hanya dikooptasi provinsi. Sementara Pemkab Aceh Timur sebagai pemilih lahan, tidak mendapatkan akses apa pun. Hadirnya masalah Medco sekaligus menjadi pemanfaatan bagi pengalihan isu atas tata kelola pemerintah yang berjalan tidak optimal, ditunjukan dari indikasi penyimpangan anggaran APBK.
Sebagaimana digugat elemen sipil, seyogyanya Gubernur harus membuka ruang untuk daerah-daerah, padahal political will Gubernur paling menentukan kondisi sosial dalam pembangunan ke depan. Namun kekuasaan tiran Gubernur Aceh untuk menguasai potensi di daerah itu sehinga menghambat terwujudnya kesejahtraan rakyat. Masalahnya, ini juga akibat ketidak-mampuan pemerintah Aceh Timur sendiri yang sungguh sangat menyakiti masyarakat Aceh Timur.
Belum lagi soal kebutuhan air bersih yang hingga kini tak kunjung teratasi. Kalaupun sebagian wilayah sudah dialiri instalasi PDAM, namun kualitasnya masih di bawah standar kelayakan. Ironisnya ketika ada gugatan dari masyarakat, justru Bupati menganggap itu sikap tidak membantu pemerintahannya, bahkan mencoba melemparkan tanggungjawabnya sebagai pimpinan daerah. Karena masalah air sebagai kebutuhan primer masyarakat. Daerah yang masih kurang mendapatkan konsumsi air bersih Desa Tunong Bugeng, Kecamatan Darul Falah, Aceh Timur. Walaupun program PNPM-P belum mampu mengakomindir kebutuhan masyarakat desa tersebut. Ini tanggung jawab Pemkab Aceh Timur. Daerah lainnya yaitu Kecamatan Julok, Idi Tunong, Nurussalam, Darul Aman, Keude Geurebak, Bagok, Peunaron, dan Ranto Peureulak. Apalagi program air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) baru berjalan di tataran sosialisasi saja.
Aceh Timur kaya sumberdaya alam, namun lebih 62 persen dari jumlah penduduk mencapai 400.000 jiwa, masih didera kemiskinan. Hal ini berdasarkan data statistik tahun 2006. (sumber:http://www.pelita.or.id/baca.php?id=46277). Ini diakui Wabub, Nasrudin, bahwa sebenarnya bukan daerah miskin. Tapi potensi alam itu belum bisa tergarap maksimal. Kendalanya selain minimnya sarana infrastruktur pendukung investasi, terutama jalan dan jembatan, keamana juga faktor SDM.
Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di Aceh Timur, Pemkab telah menyalurkan bantuan pendidikan atau beasiswa bagi mahasiswa asal kabupaten ini. Masalahnya, dalam penyaluran beasiswa ini, tidak ada kontrak dan ketentuan yang mengikat, bila nanti mereka sudah selesai studinya, maka akan mengabdi sebagai tenaga skill di daerah itu untuk memajukan pembangunan.
Selama ini Pemkab mengandalkan tim asistensi untuk memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Namun dalam implementasinya, tim yang dibentuk itu tidak bisa diandalkan. Selain kapasitas mereka yang rendah juga proses bekerja tim ini bukan karena tanggungjawab moral untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat, akan tetapi lebih akibat ikatan bisnis atau kontrak sebagai tim ahli.
Itu sebabnya, sejumlah elemen yang yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Masyarakat Aceh Timur (GAMAT), meminta Bupati segera membubarkan tim asistensinya. Karena dianggap kehadiran tim ini hanya menghabiskan anggaran daerah untuk gaji dan biaya operasional.
Ironisnya, tim asistensi tidak berfungsi sebagai ahli, melainkan justru menjadi kontraktor dan penguasa baik sebagai direktur, komisaris di berbagai perusahaan daerah.
Memang masalah di kabupaten Aceh Timur, bukan hanya soal ketidakmampuan kepemimpinan bupati dan amburadulnya kebijakan pembangunan, tapi ditambahi dengan maraknya angka kriminal yang merusak citra daerah itu.
Persoalan di Aceh Timur tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan cara-cara instan, apalagi dengan menunjukkan kekuasaan atau justru saling melempar tanggungjawab. Tapi bupati dan jajarannya bisa melakukan suatu yang riil langsung menyentuh kepentingan masyarakat Aceh Timur. Sebab rakyat tidak butuh retorika politik, tapi bagaimana kehidupan ekonomi bisa berjalan dan meningkatnya kesejahtraan masyarakat. Ini yang mesti diwujudkan sang bupati yang didukung para tim asistensinya.
* Penulis adalah pemerhati politik dan keamanan. Mahasiswa S2 Fakultas Politik UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar