Senin, 31 Januari 2011

Thu, Jan 27th 2011, 08:43

Sejumlah Desa di Ranto Peureulak Krisis Air Bersih

* Warga Terpaksa Gunakan Air Keruh

IDI - Sejumlah desa di Kemukiman Satu, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, dilanda krisis air bersih yang menahun, akibat tidaknya adanya jaringan PDAM di kawasan tersebut. Guna memenuhi kebutuhan air untuk memasak dan minum, warga terpaksa membeli air yang diangkut dengan jeriken. Sementara untuk mandi dan cuci terpaksa digunakan air sungai atau air sumur yang keruh.

Tokoh masyarakat Seuneubok Baro, Kecamatan Ranto Peureulak, Abdul Manaf alias Aji Manaf (43), Rabu (26/1), menceritakan, kondisi seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun.  Bahkan, untuk air cuci tangan saja susah diperoleh, apalagi untuk mandi. 

Adapun desa yang dilanda krisis air bersih, kata Aji Manaf, di antaranya Desa Seuneubok Johan, Pulo Blang, Paya Unoe, Seleumak Muda, Blang Barom, Seuneubok Dalam, dan Seuneubok Baro. 

Ia menjelaskan, sejumlah ibu rumah tangga yang hendak memasak atau untuk keperluan air minum terpaksa membeli air jeriken yang diangkut warga lainnya dengan sepeda dan becak. Air bersih ini diambil dari sumur warga di kawasan Blang Barom. 

Untuk mandi,  terang Aji, warga terpaksa menggunakan sumber air yang keruh, termasuk memanfaatkan sumur yang ada di dekat sawah desa, yang airnya terserap dari areal sawah warga. Sementara sumur-sumur warga yang sebelumnya memproduksi air bersih kini kualitasnya sangat buruk.

Ia menambahkan, untuk warga yang bermukim dekat sungai seperti Desa Pulo Blang agak sedikit lega, meski untuk minum tidak bisa mendapatkan air bersih sesuai standar. Namun untuk mandi warga menggandalkan air sungai. 

Seharusnya, sebutnya, pemerintah bisa membangun mesin pembangkit air PDAM di sana, mengingat mengingat di sana juga ada sungai yang membentang di Desa Pulo Blang dan Paya Unoe. “Atau instalasi yang ada di Rantau Panjang dialiri ke sejumlah desa di kawasan ini. Jika bukan sekarang membuat warga sejahtera kapan lagi, apa harus menunggu konflik lagi,” harapnya. 

Sementara Kepala PDAM Tirta Peusada Ranto Peureulak, Aiyub SE, yang dihubungi secara terpisah mengatakan, krisis air bersih di Wilayah Satu, Kecamatan Ranto Peureulak, karena belum adanya jaringan PDAM ke wilayah tersebut. “Kami hanya mengerjakan di lapangan. Soal kebijakan ada di Pemda, jika ada dana dari Pemda, maka  kami akan memasang jaringan,” kata Aiyub. 

Namun, kata dia, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya sekitar bulan April 2011 petugas dari provinsi akan turun ke wilayah itu. direncanakan bakal ada perluasan jaringan PDAM sekitar 13 kilo meter, yang meliputi Seumali, Kampung Melayu, dan kemungkinan besar masuk ke Wilayah Satu Seuneubok Baro.(is)

Sabtu, 29 Januari 2011

Pacific Oil

Wed, Jan 12th 2011, 08:20

Pascaletusan Senjata Api

Aktivitas Pacific Oil Berjalan Normal

Langsa

LANGSA - Pascaletusan senjata api yang dilepaskan OTK sebanyak sembilan kali di lokasi staging (lokasi penempatan besi dan pipa) milik Pacific Oil & Gas (POG) di Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, yang terjadi Kamis (6/1) sekira pukul 00.30 WIB lalu, pihak perusahan tersebut memastikan kegiatan di lapangan tetap berjalan normal seperti biasa. 

“Saat ini untuk kegiatan di lapangan tetap berjalan seperti biasa,” ungkap Support Suptendent POG dalam kegiatan KSO Pertamina, Ibrahim Yusuf, Selasa (11/1) via Short Massage Service (SMS). 

Pernyataan itu disampaikan Ibrahim menjawab Serambi seputar kasus letusan senjata api yang menggegerkan kawasan Ranto Peureulak itu. Ibrahim juga memastikan kasus tersebut sedang ditangani pihak keamanan setempat. 

Dalam SMS sebelumnya, Ibrahim mengakui, letusan senjata api di lokasi staging milik POG di Ranto Peureulak memang benar adanya.”Itu memang benar seperti yang dilansir Serambi, tapi aktivitas kita di lapangan seperti biasa,” ungkapnya.

Menurut Ibrahim, saat ini POG sedang melakukan pembuatan tiga lokasi untuk pengeboran, perbaikan jalan dan jembatan. Untuk pengeboran di Desa Mata Ie dan Alue Udep. “Saat ini kita sedang bekerja untuk jenis kegiatan dimaksud,” demikian Ibrahim. 

Sebelumnya diberitakan, rentetan letusan senjata api di staging (lokasi penempatan besi dan pipa) milik Pacific Oil & Gas di Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, terjadi Kamis (6/1) sekira pukul 00.30 WIB. Peristiwa itu mengejutkan ratusan warga sekitar.

Sejumlah saksi mendengar rentetan senjata api (senpi) membahana sekitar sembilan kali pada Kamis dini hari itu. Namun, tak ada korban jiwa maupun yang cedera dalam peristiwa tersebut. Polisi setempat masih menyelidiki kasus yang pelakunya diduga orang tak dikenal (OTK).(is)

Jumat, 28 Januari 2011

Menambang Buat Siapa?

Munculnya konflik, kerusakan lingkungan dan persoalan-persoalan sosial lainnya di Aceh tidak terlepas dari adanya aktivitas pertambangan yang ada.
Meskipun kemunculan perusahaan-perusahaan pertambangan dapat menambah investasi untuk daerah, pengaruh perusahaan tambang juga disebut-sebut, tak terlepas sebagai pemicu konflik untuk Aceh.
Sejarah adanya pertambangan di Aceh dimulai sejak Belanda membebaskan Deli dari Tanah Rencong tahun 1862 silam. Pembebasan Deli tersebut, dilakukan Belanda untuk menguasai minyak di Telaga Said, Pangkalan Brandan.
Sebagai kerajaan yang mempunyai potensi sumber daya alam besar, Aceh saat itu juga mempunyai sumber minyak bumi yang berlokasi di Rantau Panjang, Peureulak. Mengetahui hal itu, Belanda yang menjunjung visi dan misi 3 G (Gold, Glory dan Gospel) atau Kekayaan, Kejayaan dan Kepercayaan/penyebaran agama, akhirnya melakukan penyerangan ke Aceh pada tahun 1873.
Untuk memuluskan penyedotan minyak di tambangnya yang ada di Rantau Panjang, Peureulak, negara Kincir Angin tersebut, melalui perusahaannya Royal Dutch, kemudian mengoperasikan tambang minyak di Brandan, tahun 1885.
Seterusnya, tahun 1899, Hindia Belanda juga mengaktifkan tambang minyak di Rantau Panjang diikuti pembuatan saluran pipa, dari Peureulak ke Pangkalan Brandan untuk distribusi di tahun 1901.
Enam tahun kemudian (1907), Koninklijke dan Shell Transport and Trading Company bergabung membentuk Bataafsche Petrolium Maatschappij (BPM). Setelah pembentukan BPM ini, Royal Dutch yang menguasai tambang minyak di Indonesia mengalihkan semua konsesi-konsesinya ke lembaga baru ini.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tepatnya tanggal 1971 bukti besarnya potensi SDA di Aceh semakin nyata. Minggu, 24 Oktober 1971, pengeboran dan pencarian gas di Arun membuahkan hasil. Gas dikawasan ini ditemukan oleh Mobil Oil Indonesia Inc., yang sekarang dikenal dengan Exxon Mobil, mitra usaha Pertamina atas dasar kontraktor bagi hasil.
Namun, penemuan tersebut tidak begitu mendapat perhatian dari pemerintah secara serius. Karenanya, melalui Pertambangan Minyak Nasional (Pertamina), pemerintah mengikat kerjasama guna mengeksploitasi hasil bumi Aceh dengan pihak swasta.
Tahun 1973, ladang gas Arun, Lhoksukon Aceh Utara, di bagi menjadi tiga kepemilikan. 55 persen milik Pertamina, 30 persen dimiliki Mobil Oil dan Jilco sebanyak 15 persen.
Sejak saat itu, konsesi tambang berbagai level terus bermunculan. Terlebih setelah konflik di Aceh mampu diredam pasca perundingan damai RI-GAM di Helsinky, 15 Agustus 2005. Tercatat sejak Agustus tersebut sampai tahun 2009, ada 75 konsesi tambang berbagai level menguasai 484.505 ha wilayah Aceh.
75 konsesi tambang tersebut, terbagi atas 22 perusahaan bijih besi yang menguasai luas wilayah 38.282 ha tanah Aceh. 17 perusahaan batu bara dengan luas 120.176 ha, 20 perusahaan emas menguasai luas wilayah 274.807,3 ha dan tiga perusahaan timah hitam yang menguasai 20.250 ha.
Sementara untuk tambang batu gamping dan pasir thufan ada dua perusahaan denga luas wilayah 1143,90 ha terus menerus menikmati hasil SDA Aceh. Diikuti tujuh perusahaan lainnya yang focus pada pertambangan Galena menguasai luas lahan 17.345 ha serta satu perusahaan Mangan juga ikut beroperasi di luas lahan 3.500 ha di bumi Aceh.
Sedangkan untuk SDA pasir besi dengan luas 208,6 ha dikuasai oleh dua konsesi tambang di Aceh dan satu perusahaan lainnya mengeruk tembaga di areal 10.000 ha, milik masyarakat Aceh. Pertanyaannya, kenapa dengan jumlah begitu banyak konsesi pertambangan tersebut memunculkan konflik social dan lainnya dengan masyarakat?
Karakteristik Pertambangan di Aceh
Dalam perjalanan sejarah pertambangan di Indonesia, khususnya di Aceh, konsesi-konsesi yang mengeruk hasil kekayaan alam di daerah setempat kerap menemui masalah dengan masyarakat di lingkungan pertambangan. Munculnya gesekan-gesekan ini, nantinya mampu menghasilkan konflik besar seperti yang pernah terjadi di Aceh, beberapa tahun silam.
Konsesi pertambangan yang ada di Indonesia, terutama di Aceh mempunyai beberapa karakteristik bermasalah sehingga memunculkan konflik. Antaranya, perusahaan tambang yang melakukan aktivitas pertambangan sering kali menguasai wilayah produksi rakyat.
Seterusnya, perusahaan-perusahaan tambang ini sering juga melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat, dipandang dari berbagai sisi.
Hal lainnya yang kemudian menimbulkan konflik adalah seringkali terjadi kerusakan lingkungan di sekitar lahan pertambangan, marak terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tubuh perusahaan yang merugikan penduduk sekitar, adanya praktek politik adu domba serta banyak konsesi tambang yang ada membangun enclave ekslusif di areal konsesi.
Munculnya perusahaan tambang di suatu daerah juga kerap berdampak pada masyarakat. Seperti contoh kejadian di Arun, dimana rakyat sekitar sama sekali tidak mendapatkan manfaat atas penyedotan hasil alam di daerah mereka. Padahal, dominan dari masyarakat yang ada di areal tersebut masih dalam keadaan kurang mampu (miskin).
Memakai jasa TNI/Polri sebagai bodyguard, hasil tambang bukan untuk kebutuhan lokal dan export oriented akhirnya menimbulkan persoalan-persoalan social lainnya. Ciri khas konsesi pertambangan tersebut, akhirnya memunculkan polemik di tubuh masyarakat yang kemudian melahirkan konflik seperti Aceh tempo hari.
Konflik-konflik seperti ini pernah terjadi di Aceh Utara dan beberapa daerah di Aceh lainnya. Saat itu, Exxon Mobile yang menguasai lahan tambang gas Arun melakukan pelanggaran HAM demi kemanan perusahaannya terhadap masyarakat sekitar. Kemudian, konflik lahan antara masyarakat Lhoong, Aceh Besar dengan PT Lhoong Setia Mining.
Tak hanya itu, di Manggamat, Aceh Selatan penguasaan lahan produksi masyarakat oleh PT Multi Mineral Utama dan tidak adanya kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan serta kurangnya kesadaran pemilik perusahaan atas limbah tambangnya seperti yang dirasakan penduduk Lhoknga atas aktivitas PT SAI, juga berujung pada konflik dengan masyarakat.
“Sekarang adalah waktu yang ideal untuk memeriksa, kaitan antara kerusakan lingkungan hidup, kemiskinan struktural dan sejumlah kejahatan serta pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Komisaris Tinggi HAM PBB, Mary Robinson, 2002 silam.
Pernyataan ini terkait erat atas kehadiran perusahaan tambang yang acap kali membawa masalah bagi penduduk sekitar. Contohnya, pencemaran debu oleh PT SAI di Lhoknga, kebocoran gas H2S oleh operasi PT Arun, kebocoran limbah EMOI di Aceh Utara dan ancaman abrasi akibat penambangan galian C di Aceh Besar.
Hak Rakyat
Dalam perjalanannya, konsesi-konsesi tambang ini sering melupakan adanya hak-hak rakyat. Sehingga konflik sosial terus menerus terjadi seiring berkembangnya perusahaan itu sendiri.
Padahal, dalam konstitusi, Amandemen -2 UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) ditegaskan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal senada juga dituliskan dalam pasal 5 & 8 UU 23/1997, Pasal 3 UU 39/1999.
Di lain sisi, rakyat juga mempunyai hak secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri, tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul ke depannya, seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) Konvenan Internasional Ekosob.
Bahkan, Resolusi PBB 1803 (XVII) 14 Desember 1962 lebih tegas lagi mengakui adanya kedaulatan permanen atas sumber daya alam adalah hak rakyat dengan bebas mengatur kekayaan dan sumberdaya alam mereka.
Meskipun sejumlah pasal dan peraturan lainnya telah dibuat dan disepakati bersama, namun konsesi-konsesi pertambangan yang ada saat ini cenderung mengabaikan hak-hak rakyat.
Lalu, apakah rakyat selaku yang memiliki, menerima sebab dan akibat dari eksploitasi hasil alam dari konsesi pertambangan yang ada, harus diam saja?[]


SUMBER: NASHRUDDIN AGUS
http://abangdetak.wordpress.com/2010/05/19/menambang-buat-siapa/

Besi Tua

BERBEDA dengan sebutan untuk orang, besi tua bukan besi yang sudah  berumur tua, tapi besi yang tak terpakai lagi meskipun umurnnya masih muda dan kondisinya masih baik. Satu unit mobil yang tak bisa lagi jalan akibat kerusakan parah, segera berubah namanya menjadi besi tua. Harganya pun tidak lagi bertarif mobil, tetapi sesuai harga besi tua secara kiloan. Yang tepat, namanya besi bekas.

Kalau pabrik-pabrik di wilayah industri Lhokseumawe  seperti pabrik pencairan gas, pabrik pupuk, dan pabrik kertas, operasinya berhenti total, statusnya jadi besi tua. Ini sudah dialami sumur minyak di Kutabinjei dan Rantaupanjang di Aceh Timur setelah berakhirnya eksplorasi dan eksploitasi minyak oleh Pertamina. Padahal peralatan tersebut sangat berjasa dalam sejarah industri perminyakan. Misalnya  Kutabinjai yang dikenal dengan sumur Julok dimulai perusahaan milik Belanda -KPM--, dilanjutkan oleh PN Permina. Kemudian bergabung dengan PN Pertamin menjadi PT Pertamina.

Begitu juga yang berada di Rantaupanjang Peureulak, 12 km  ke selatan jalan lintas Sumatera. Di sini sumur-sumur minyak dioperasikan oleh Asamera, sebuah perusahaan asing. Isi  perut bumi itu dialirkan melalui pipa sepanjang 23 km lalu diisap oleh kapal-kapal yang berlabuh di dekat Kuala Beukah, dan diangkut entah ke mana.

Kini Kutabinjai dan Rantaupanjang telah sepi. Begitu api di ujung cerobong pembuang sisa minyak  padam di awal tahun tujuh puluhan, peralatan itu pun  berubah jadi besi tua. Tak ada lagi lidah api yang menjilat-jilat ke udara, baik di Rantaupanjang maupun Julok, yang  dulu bila malam hari cahaya itu dapat disaksikan dalam radius 50 km. Lokasi pengeboran minyak di Aceh kini tinggal di Rantau Kuala Simpang.

Cerita besi tua tidak hanya di tapak-tapak Pertamina dan bekas kawasan industri. Pascatsunami  di Aceh ratusan ton besi tua diangkut oleh truk-truk perkasa ke Medan. Para pemulung profesional dan amatiran mencari besi-besi bekas di gedung  ambruk. Puluhan  tauke dan makelar muncul saat itu. Banyak yang kaya dengan bisnis besi tua. Reubah rumoh tinggai beusoe, jeut tapuploe u gudang Cina. (Roboh rumah tinggal besi, bisa dijual ke gudang orang Cina). Begitu dolanan yang didendangkan remaja pemulung besi tua dengan girang meski Aceh - waku  itu-- sedang  nestapa.

Banyak cerita pemungut dan pemulung muncul di sekitar musibah tsunami. Para “pemulung” tidak hanya memungut besi tua, tetapi juga “menangani” barang-barang lain, termasuk perhiasan emas dan perak, baik yang tercecer di bekas-bekas rumah roboh, maupun yang masih melekat di tubuh mayat. Konon kabarnya “pemulung” yang berkedok pekerja  sosial  dalam evakuasi korban  tega membiarkan mayat tergelak setelah perhiasan di tubuhnya dipreteli, bila perlu memotong tangan atau jari sang jenazah  agar mudah mengambil   emas.

Cerita besi tua tidak sekadar  besi bekas reruntuhan rumah dan perhiasaan di tubuh korban tsunami di Aceh pada 2004. Besi tua juga bisa berasal dari jembatan, baik  yang roboh diterjang  tsunami maupun jembatan darurat yang kemudian dibongkar lagi setelah   jembatan permanen siap. Juga mobil dan  bekas alat berat  masa tanggap darurat yang tercecer di beberapa daerah, semuanya masuk daftar  besi tua.

Bagi para peminat barang-barang ini,  tampaknya Aceh terus akan menjadi daerah potensial yang memproduk besi tua.  Melihat gelagat, beberapa “proyek impian”  bakal menghasilkan onggokan  besi bekas. Pembangunan pelabuhan bebas Sabang meskipun telah menelan duit ratusan milyar rupiah selama tiga tahun agaknya tak banyak bisa diharap dari sana.

Sebagaimana disiarkan pers baru-baru ini, free port itu baru dibangun  hanya beberapa puluh meter dermaga. Padahal fasilitas pelabuhan cukup meragam. Rakyat Sabang terus tersuguhkan dengan mimpi-mimpi. Apalagi dalam manajemen BPKS-pengelola proyek-- sedang terjadi gonjang ganjing. Ujung-ujungnya proyek terlantar. Dan itu akan segera  menghasilkan besi tua dari dalam kerangka dermaga.

Ada lagi yang pasti amat menggiurkan  para pemulung dan peminat besi tua di Aceh, yaitu  proyekkereta  api yang sedang dibangun secara sporadis di Aceh Utara dan Bireuen.  Karena rute  yang dipakai adalah jalur  kereta api zaman Belanda, banyak kawasan yang tak mungkin ditembus lagi lantaran telah berdiri bangunan kokoh bahkan telah tertanam di bawah aspal pelebaran jalan raya.

Ada dagelan besar di sana yang menggambarkan seolah-olah proyek  tersebut sesuatu yang serius. Untuk itu didatangkanlah  sebuah lokomotif dan dua gerbong untuk untuk pajangan  di Kruenggeukueh. Tak ada publikasi dan transparansi kelanjutan proyek dan berapa duit rakyat  yang sudah dihamburkan ke sana.  Beberapa tahun lagi, daripada mubazir,  semua  besi rel, gerbong, dan lokomotif bakal ditimbang dan dilego secara kiloan.

Ternyata besi tua tidak hanya sesuatu yang menggiurkan sebagai ladang  bisnis. Dalam perspektif lain, besi tua sesungguhnya  ---yang benar-benar tua-adalah besi yang dililit karatan. Ini harus hati-hati, karena jika tergores  besi karatan,  luka bekas goresan bisa terinfeksi  tetanus. Sebelum  obat  mudah ditemukan - terutama di  pedalaman-- banyak orang yang terkena tetanus berakibat fatal, misalnya gejala meuganceng gigoe (terkunci gigi).

Gejala terkunci gigi dulu dialami oleh wanita  melahirkan. Cukup banyak korban tetanus dari kalangan ini yang meninggal dunia. Barangkali karena minimnya pengetahuan masyarakat  tentang kebersihan  membuat proses  melahirkan yang ditangani dukun kampung  sebagai masa yang  rawan dan menakutkan. Dukun bersalin (ma blein) di desa memang agak mengabaikan aspek  higenis.

Di desa-desa pada waktu itu, seorang perempuan yang sedang melahirkan dan kemudian mengalami gigi terkunci, dipercaya sebagai akibat  kerasukan jin atau “burong tujuh”. Ironisnya jin yang datang menggoda dan kemudian mengunci mulut perempuan melahirkan berasal dari perempuan yang juga meninggal akibat yang sama.  Maka, jika ada orang yanng “mete medeueng” alias meninggal akibat melahirkan, malam jadi sepi dan mencekam. Bulu kuduk anak-anak yang pulang dari rumah  pengajian berdiri tegak bila ada kasus seperti itu. Mitos, legenda, dan desas desus  berkembang pesat. Banyak  yang mengaku melihat atau berjumpa dengan sosok almarhumah yang telah berubah bentuk. Kalau muncul suara-suara aneh burung malam langsung dikaitkan dengan mitos tadi.  Ketakutan dan kekecutan menjadi langit-langit  desa.

Ya, mitos tentang gentayangan makhluk halus sekitar orang  meninggal saat melahirkan sudah pupus diteleh modernisasi dan transformasi kultural. Tetapi secara umum masih banyak orang  yang  menjauhi besi tua, kecuali para pemulung. Sebab, jika  pemulung terinfeksi tetanus memang sudah  resiko profesi. Apa boleh buat!

Namun jangan salah, selain pemulung ada juga orang suka bermain-main dengan besi tua penuh karatan. Sebagai hobi atau permainan, itu sah-sah saja. Cuma kita menjadi cemas kalau tidak hati-hati tangannya  bakal tergores.  Meski obat tetanus  sekarang mudah didapat semudah memperoleh bumbu penyedap, kita tetap prihatin  jika  kelak mendengar kabar ada  orang yang celaka gara-gara  besi tua. Apalagi kalau sampai meuganceng gigoe seperti di suatu waktu dulu. Nggak lucu, kan?

Rabu, 26 Januari 2011

Letusan Senpi di Lokasi Pacific Oil Kagetkan WargaPDFCetakE-mail
Ditulis oleh Administrator   
Monday, 10 January 2011
* Diduga Ditembakkan OTK
PEUREULAK — Rentetan letusan senjata api di staging (lokasi penempatan besi dan pipa) milik Pacific Oil & Gas di Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, terjadi Kamis (6/1) sekira pukul 00.30 WIB. Peristiwa itu mengejutkan ratusan warga sekitar.
Sejumlah saksi mendengar rentetan senjata api (senpi) membahana sekitar sembilan kali pada Kamis dini hari itu. Namun, tak ada korban jiwa maupun yang cedera dalam peristiwa tersebut. Polisi setempat masih menyelidiki kasus yang pelakunya diduga orang tak dikenal (OTK).
Sumber Serambi, Minggu (9/1) menyebutkan, ketenangan warga Ranto Peureulak tiba-tiba terusik oleh letusan senpi yang menggelegar selepas tengah malam. Tembakan tersebut diduga diarahkan ke lokasi staging Pacific Oil & Gas (POG).
Disebut-sebut, pelaku yang belum diketahui identitasnya itu berjalan kaki ke sebuah bukit yang selama ini dijuluki “Bukit Kopassus”. Lokasinya, di perbatasan Mata Ie dan Benteng, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur. Dari sanalah tembakan dilepaskan. Setelah itu, pelaku melarikan diri, lalu menghilang di balik kegelapan malam.
“Letusan senjata api itu membuat warga sangat terkejut. Saya sendiri ikut kaget, karena sudah lama sejak Aceh damai gangguan seperti itu tak lagi terdengar,” ungkap sumber Serambi.
Kapolres Aceh Timur, AKBP Drs Ridwan Usman yang dikonfirmasi via telepon selulernya, Sabtu (8/1) sore, tidak berhasil. Namun demikian, malam harinya saat menghubungi balik Serambi, ia benarkan bahwa memang ada informasi yang masuk kepadanya tentang letusan senpi di kawasan Ranto Peureulak.
“Dari laporan yang kita terima tidak ada korban sama sekali. Pelakunya juga belum jelas. Sedang kita selidiki,” ungkap Ridwan Usman. Terkait masalah tersebut, Serambi yang coba menghubungi nomor telepon seluler dua staf POG, yakni Ibrahim Yusuf dan Wiji, tidak tersambung. Konfirmasi via sms juga tak dibalas sampai berita ini diturunkan tadi malam.
Seperti diketahui, sumur-sumur minyak peninggalan Asamera Oil Ltd sedang dikelola dan akan dieksploitasi oleh Pacific Oil & Gas. POG adalah salah satu perusahaan multinasional yang bergerak dalam pengembangan energi. Saat ini POG yang berpusat di Jakarta telah mengeksploitasi Blok Jambi, Merang di Sumsel, serta menjadi operator di Blok Peureulak dan Kisaran, Sumatera Utara.
Sekarang ini ada tiga blok migas di Aceh Timur. Blok A dikuasai melalui Production Sharing Contract (PSC) oleh Medco Energi, Blok Pase dikuasai ExxonMobil, dan Blok Peureulak diikuasai melalui Kerja Sama Operasi (KSO) oleh Pacific Oil & Gas dan Pertamina. (is- ngutip : serambinews.com

Letusan Senpi di Lokasi Pacific Oil Kagetkan Warga

Diduga Ditembakkan OTK


PEUREULAK — Rentetan letusan senjata api di staging (lokasi penempatan besi dan pipa) milik Pacific Oil & Gas di Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, terjadi Kamis (6/1) sekira pukul 00.30 WIB. Peristiwa itu mengejutkan ratusan warga sekitar. 
Sejumlah saksi mendengar rentetan senjata api (senpi) membahana sekitar sembilan kali pada Kamis dini hari itu. Namun, tak ada korban jiwa maupun yang cedera dalam peristiwa tersebut. Polisi setempat masih menyelidiki kasus yang pelakunya diduga orang tak dikenal (OTK). 
Sumber Serambi, Minggu (9/1) menyebutkan, ketenangan warga Ranto Peureulak tiba-tiba terusik oleh letusan senpi yang menggelegar selepas tengah malam. Tembakan tersebut diduga diarahkan ke lokasi staging Pacific Oil & Gas (POG). 
Disebut-sebut, pelaku yang belum diketahui identitasnya itu berjalan kaki ke sebuah bukit yang selama ini dijuluki “Bukit Kopassus”. Lokasinya, di perbatasan Mata Ie dan Benteng, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur. Dari sanalah tembakan dilepaskan. Setelah itu, pelaku melarikan diri, lalu menghilang di balik kegelapan malam. 
“Letusan senjata api itu membuat warga sangat terkejut. Saya sendiri ikut kaget, karena sudah lama sejak Aceh damai gangguan seperti itu tak lagi terdengar,” ungkap sumber Serambi.
Kapolres Aceh Timur, AKBP Drs Ridwan Usman yang dikonfirmasi via telepon selulernya, Sabtu (8/1) sore, tidak berhasil. Namun demikian, malam harinya saat menghubungi balik Serambi, ia benarkan bahwa memang ada informasi yang masuk kepadanya tentang letusan senpi di kawasan Ranto Peureulak. 
“Dari laporan yang kita terima tidak ada korban sama sekali. Pelakunya juga belum jelas. Sedang kita selidiki,” ungkap Ridwan Usman. Terkait masalah tersebut, Serambi yang coba menghubungi nomor telepon seluler dua staf POG, yakni Ibrahim Yusuf dan Wiji, tidak tersambung. Konfirmasi via sms juga tak dibalas sampai berita ini diturunkan tadi malam. 
Seperti diketahui, sumur-sumur minyak peninggalan Asamera Oil Ltd sedang dikelola dan akan dieksploitasi oleh Pacific Oil & Gas. POG adalah salah satu perusahaan multinasional yang bergerak dalam pengembangan energi. Saat ini POG yang berpusat di Jakarta telah mengeksploitasi Blok Jambi, Merang di Sumsel, serta menjadi operator di Blok Peureulak dan Kisaran, Sumatera Utara.
Sekarang ini ada tiga blok migas di Aceh Timur. Blok A dikuasai melalui Production Sharing Contract (PSC) oleh Medco Energi, Blok Pase dikuasai ExxonMobil, dan Blok Peureulak diikuasai melalui Kerja Sama Operasi (KSO) oleh Pacific Oil & Gas dan Pertamina.

Ini Bagus Namanya..........


Mapolsek Ranto Peureulak Raih Predikat Terbaik

* Lima Personil Resmob Dapat Penghargaan

IDI -  Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Ranto Peureulak, Aceh Timur,  berhasil meraih predikat terbaik pertama tingkat Polres Aceh Timur, setelah dilakukan penilaian dari berbagai oleh Mapolres setempat. Sedangkan terbaik dua dan tiga diraih Mapolsek Simpang Ulim dan Mapolres Julok. 

Sementara lima personil polisi satuan Resmob (Reserse Mobil) Polres setempat juga meraih penghargaan, karena dinilai telah berhasil menjalankan tugasnya di lapangan serta mengungkap sejumlah kasus termasuk pelakunya.

Kapolres Aceh Timur, AKBP Ridwan Usman, didampingi Kabag Administrasi (Kabag Min), Kompol Tamlikhan, kepada Serambi, Rabu (10/3) mengatakan, terpilihnya tiga Mapolsek terbaik tersebut setelah dilakukan penilaian terhadap berbagai kriteria. Di antaranya operasional, penampilan personil, serta penampilan markas komando (mako), di mana pihak Mapolres Aceh Timur, menurunkan tim supervise yang terdiri dari para kabag dan kasat. 

“Selama dua minggu penuh, tim supervisi kita terjunkan ke seluruh Mapolsek yang ada untuk melakukan penilaian terhadap tiga katagori tadi,” ujar Kabag Min,  Kompol Tamlikhan. Sementara itu, lima personil polisi dari satuan Resmob, juga meraih penghargaan atas prestasi dan kinerjanya di lapangan selama ini, baik dalam mengungkap kasus narkoba umumnya, serta menangkap sejumlah pelakunya. 

“Masing-masing perssonil anggota Resmob itu yakni Bripka Abdul Rauf (Kanit Resmob), Briptu Ulil Azmi, Briptu Safrizal, Bripda Marfurqan, serta Bripda Indra Gunawan,”tambah Kompol Tamlikhan. Ia berharap dengan terpilihnya tiga Mapolsek terbaik tersebut,  serta diraihnya penghargaan bagi lima personil Resmob, kinerja maupun pelaksanaan tugas seluruh personil polisi  dapat terus ditingkatkan  yakni sebagai pelayan, pelindung, serta pengayom masyarakat. “Kita berharap akan ada polsek-polsek lain yang nantinya juga berhasil meraih prediket terbaik, begitu pula halnya dengan personil polisi yang bertugas di lapangan, juga dapat menunjukkan prestasi kerja yang baik,” demikian Tamlikhan.(na)

Aduh! Aceh Timur


PEMKAB Aceh Timur dinilai “gagal”. Begitu dilansir media dalam minggu terakhir. Kepemimpinan bupati tidak bisa memberikan pelayanan publik kepada rakyat di daerah itu. Lemahnya arah pembangunan Aceh Timur (AT) terlihat mulai masalah infrastruktur, fasilitas yang sangat minim, tatakelola pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat, tim ahli yang tak ahli, hingga suasana perpolitikan yang carut marut.

Kecuali itu, soal proyek multiyears yang dibiayai dengan anggaran tahun 2009-2011 baik bersumber dari APBN, APBA Provinsi Aceh  maupun dari APBK Aceh Timur, dalam pelaksanaan proyek pembangunan yang dikerjakan dua perusahan yaitu PT Lince Romauli Raya dan PT Trillion Glory Internasional, ternyata implementasinya sangat mengecewakan. Sementara dana untuk proyek itu tidak mampu dipertanggungjawabkan.

Misalnya, hasil laporan Pansus DPRK Aceh Timur, bahwa anggaran yang sudah tersedot ke pembangunan pusat pemerintahan Aceh Timur sebesar 130,3 M dari pagu sebesar 160 M, terindikasi terjadinya penyimpangan. Terungkap dalam proses pencairan uang muka 15 persen realisasi fisik proyek ke PT.Trillion Glory internasional (TGI) sebesar 19,5M. Pembayaran uang muka tidak sesuai dengan persentase pekerjaan yang hanya mencapai 4,8 persen. Seharusnya 15 persen sesuai aturan realisasi pembayaran uang muka.

Masalah lain kasus divisit anggaran yang mencapai Rp 138 miliar yang sempat mengagetkan hingga dipertanyakan sejumlah aktivis LSM karena dinilai melampaui angka dibatas kewajaran. Seperti dikatakan Ketua GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi,SH dan Ketua Solidaritas untuk Peduli Anggaran (SAPA) Aceh, Rizalihadi, bahwa defisit yang mencapai ratusan milyar itu sangat besar dan tidak logis dengan melihat kondisi kekinian Pemkab Aceh Timur.

Dikatakan, jumlah total belanja untuk Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp 793.387.762.032. Sedangkan total pendapatan hanya sebesar Rp 655.014.162.113, sehingga muncul defisit sebesar Rp 138.373.699.926. “Kita curigai salah satu alasan penyebab difisit itu, seperti penggunaan anggaran di luar mekenisme APBK 2009,” ujar Auzir yang meminta dana itu perlu ditelusuri dan Pemkab Aceh Timur harus mempertangungjawabkannya (Serambi, 2 Januari 2010).

Tampaknya berbagai kasus terus terjadi akibat ketidakmampuan Bupati Aceh Timur. Misal, tentang kasus perpanjangan PT.Medco E&P Malaka yang tidak menghormati hak-hak masyarakat Aceh Timur. Tiga blok migas di Aceh Timur, Blok A dikuasai melalui Produstion Sharing Contract (PSC) oleh Medco Energi, Blok Pase dikuasai oleh Exxon Mobile dan Blok Peureulak dikuasai melalui Kerja Sama Operasi (KSO) oleh Pacific Oil & Gas dan Pertamina. Beroperasinya pengelolaan migas itu sama sekali tidak mengakomadir kepentingan masyarakat dan bagi sumber pendapatan daerah Aceh Timur. 

Kita ketahui pemerintah Aceh melalui BP MIGAS sudah mengizinkan perpanjangan izin pengelolaannyasebagaimana Surat Persetujuan  Nomor 540/49925 pada 13 Juli 2010, namun keuntungannya hanya dikooptasi provinsi. Sementara Pemkab Aceh Timur sebagai pemilih lahan, tidak mendapatkan akses apa pun. Hadirnya masalah Medco sekaligus menjadi pemanfaatan bagi pengalihan isu atas tata kelola pemerintah yang berjalan tidak optimal, ditunjukan dari indikasi penyimpangan anggaran APBK.

Sebagaimana digugat elemen sipil, seyogyanya Gubernur harus membuka ruang untuk daerah-daerah, padahal political will Gubernur paling menentukan kondisi sosial dalam pembangunan ke depan. Namun kekuasaan tiran Gubernur Aceh untuk menguasai potensi di daerah  itu sehinga menghambat terwujudnya kesejahtraan rakyat. Masalahnya, ini juga akibat ketidak-mampuan pemerintah Aceh Timur sendiri yang sungguh sangat menyakiti masyarakat Aceh Timur. 

Belum lagi soal kebutuhan air bersih yang hingga kini tak kunjung teratasi. Kalaupun sebagian wilayah sudah dialiri instalasi PDAM, namun kualitasnya masih di bawah standar kelayakan. Ironisnya ketika ada gugatan dari masyarakat, justru Bupati menganggap itu sikap tidak membantu pemerintahannya, bahkan mencoba melemparkan tanggungjawabnya sebagai pimpinan daerah. Karena masalah air sebagai kebutuhan primer masyarakat. Daerah yang masih kurang mendapatkan konsumsi air bersih Desa Tunong Bugeng, Kecamatan Darul Falah, Aceh Timur. Walaupun program PNPM-P belum mampu mengakomindir kebutuhan masyarakat desa tersebut. Ini tanggung jawab Pemkab Aceh Timur. Daerah lainnya yaitu Kecamatan Julok, Idi Tunong, Nurussalam, Darul Aman, Keude Geurebak, Bagok, Peunaron, dan Ranto Peureulak. Apalagi program air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) baru berjalan di tataran sosialisasi saja. 

Aceh Timur kaya sumberdaya alam, namun lebih 62 persen dari jumlah penduduk mencapai 400.000 jiwa, masih didera kemiskinan. Hal ini berdasarkan data statistik tahun 2006. (sumber:http://www.pelita.or.id/baca.php?id=46277). Ini diakui Wabub, Nasrudin, bahwa sebenarnya bukan daerah miskin. Tapi potensi alam itu belum bisa tergarap maksimal. Kendalanya selain minimnya sarana infrastruktur pendukung investasi, terutama jalan dan jembatan, keamana juga faktor SDM. 

Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) di Aceh Timur, Pemkab telah menyalurkan bantuan pendidikan atau beasiswa bagi mahasiswa asal kabupaten ini. Masalahnya, dalam penyaluran beasiswa ini, tidak ada kontrak dan ketentuan yang mengikat, bila nanti mereka sudah selesai studinya, maka akan mengabdi sebagai tenaga skill di daerah itu untuk memajukan pembangunan.

Selama ini Pemkab mengandalkan tim asistensi untuk memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Namun dalam implementasinya, tim yang dibentuk itu tidak bisa  diandalkan. Selain kapasitas mereka yang rendah juga proses bekerja tim ini bukan karena tanggungjawab moral untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat, akan tetapi lebih akibat ikatan bisnis atau kontrak sebagai tim ahli.

Itu sebabnya, sejumlah elemen yang yang tergabung dalam Gerakan Aliansi Masyarakat Aceh Timur (GAMAT), meminta Bupati segera membubarkan tim asistensinya. Karena dianggap kehadiran tim ini hanya menghabiskan anggaran daerah untuk gaji dan biaya operasional. 

Ironisnya, tim asistensi tidak berfungsi sebagai ahli, melainkan justru menjadi kontraktor dan penguasa baik sebagai direktur, komisaris di berbagai perusahaan daerah. 

Memang masalah di kabupaten Aceh Timur, bukan hanya soal ketidakmampuan kepemimpinan bupati dan amburadulnya kebijakan pembangunan, tapi ditambahi dengan maraknya angka kriminal yang merusak citra daerah itu. 

Persoalan di Aceh Timur tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan cara-cara instan, apalagi dengan menunjukkan kekuasaan atau justru saling melempar tanggungjawab. Tapi bupati dan jajarannya bisa melakukan suatu yang riil langsung menyentuh kepentingan masyarakat Aceh Timur. Sebab rakyat tidak butuh retorika politik, tapi bagaimana kehidupan ekonomi bisa berjalan dan meningkatnya kesejahtraan masyarakat. Ini yang mesti diwujudkan sang bupati yang didukung para tim asistensinya.

* Penulis adalah pemerhati politik dan keamanan. Mahasiswa S2 Fakultas Politik UGM

Posting Ranto Peureulak


Eksploitasi Blok A dan Sumur Tua

Medco dan Pacific Oil Tunggu Aturan Khusus

IDI - Dua perusahaan migas, PT Medco E&P dan Pacific Oil & Gas, hingga kini belum melakukan kegiatan eksploitasi di Aceh Timur karena sedang menunggu keluarnya aturan khusus hasil pembahasan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Menurut DR Ibrahim Hasyim dari Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, ada faktor hukum turunan UUPA di bidang Migas yang belum selesai dibahas. Pembahasan tersebut langsung berada di bawah kendali Mendagri (Menteri Dalam Negeri).

“Jika ini sudah selesai maka akan jelas aturannya. Sehingga eksploitasi Migas Aceh oleh perusahaan yang saat ini telah masuk tidak mengambang,” katanya kepada Serambi, Sabtu (16/1). Menurut Ibrahim, pusat dan Aceh telah menggelar beberapa kali pertemuan untuk membahas hal tersebut. Bahkan pemerintah Aceh dikabarkan telah mengusulkan nama BPMA (Badan Pelaksana Minyak Aceh) ke pusat.

“Hal itu bukan berarti Aceh akan atur sendiri. Lingkupnya dalam UUPA hanya mengatur hulu, tidak mengatur secara jelas tentang hilir. Saat ini masih menunggu aturan pelaksanaan peraturan pemerintah tentang minyak Aceh sebagai implementasi pesan UUPA. Itu harus didorong agar cepat turun,” ucapnya. Disamping itu, putra kelahiran Keude Blang, Idi, ini menjelaskan, faktor lain adalah masalah persepsi keamanan seperti yang telah disampaikan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, beberapa hari lalu.

“Faktor ini harus benar-benar dikomunikasikan agar investor tidak takut masuk ke Aceh,” kata Ibrahim. Dia menegaskan kalau Migas merupakan investasi besar yang harus dilindungi. Sebagaimana diketahui, PT Medco Energi telah mengambil keputusan untuk menunda pengembangan gas alam blok A di Aceh Timur menyusul ketidakpastian perpanjangan kontrak atas blok tersebut. PT Pacific Oil & Gas hingga kini juga belum melakukan eksploitasi atas sumur minyak tua peninggalan Belanda di Ranto Peureulak meski telah berjalan setahun. Bahkan perusahaan asal Amerika Serikat, Transworld Seruway Eksploirations, yang menggarap minyak di lepas pantai Bagok, sampai kini tidak jelas keberadaannya. Padahal beberapa waktu lalu telah melakukan siesmik 3 dimensi.(is)